Berbicara mengenai filosofi mengapa terdapat perlakuan khusus terhadap isu kenakalan remaja, sama saja pada dasarnya kita berbicara bahwa remaja menuntut perbedaan dengan perlakuan terhadap orang dewasa.
Sebenarnya dalam criminal justice system atau sistem peradilan pidana yang dianut oleh Indonesia tidak dibedakan antara peradilan anak dengan peradilan orang dewasa atau disebut peradilan umum, tetapi terdapat pertimbangan khusus akan adanya pemikiran
juvenile justice yang mengharuskan adanya perlakuan khusus terhadap anak yang harus dipisahkan dari peradilan umum.
Perbedaan yang mendasar bahwa anak- anak butuh penanganan khusus karena anak- anak sedang dalam proses pertumbuhan. Hal ini merupakan sebuah dasar pemikiran sejak jaman Hamurrabi
untuk membedakan perlakuan terhadap pidana yang dilakukan oleh anak. Kemudian dari situ, berkembang konsep
yang disebut parens patriae.
Pemikiran ini dikembangkan sejak 4000 tahun yang lalu dalam code of hammurabbi. Orang sudah berfikir bahwa anak- anak berumur dibawah 7 tahun tidak mampu bentuk maksud dan tujuan dari
perbuatannya. Untuk apa dia berbuat mereka belum tahu karena pada dasarnya anak anak merupakan uncapable of
forming the intense.
Pada dasarnya anak-anak umur 7-14 tidak ada
pengecualian untuk melakukan pertimbangan itu. Ternyata permikiran itu tidak lagi sesuai dengan harapan. Banyak anak- anak yang berumur dikategorikan belum dewasa banyak melakukan perbuatan pidana yang tergolong pidana yang tidak seharusnya dilakukan pada usia yang dimiliki. Misalkan saja kasus tawuran pelajar SMA 6 dan SMA 70 yang mengakibatkan kematian. Hal ini merupakan suatu latar belakang yang dapat diklasifikasikan bahwa terdapat pertentangan antara de jure dan de facto dan menjadi permasalah sosial.
permasalahan tersebut dapat didasarkan terkait tumpang tindihnya aturan yang berlaku di Indonesia. Misalkan saja bilamana kita berbicara mengenai klasifikasi umur, misalkan dalam pemilu setelah 17 tahun anak anak diperbolehkan untuk mengikuti pemilu. Kemudian dapat membuat sim setelah berusia 17 tahun. Akan tetapi kenakalan remaja pada hukum perdata 21 tahun, sementara 18
tahun dalam uu peradilan anak di indonesia.
Kembali lagi pada konsep Parens patriae. Konsep Parens patriae ini adalah personifikasi kepala negara menjadi orang tua
anak- anak negara itu. Misalkan saja raja inggris mempunyai hak sebagai kepala
negara dan jugasebagai orang tua anak,
yang punya kewajiban untuk awasi anak yang terlantaar. Hak Parens Patriae dapat mengambil alih hak
hukum yang dimiliki orang tua kandungnya . Kondisi ini hanya berlaku untuk anak yang butuh pengawasan yang
butuh bantuan. Atau anak anak yang dapat perlakuan yang tidak semestinya dari orang
tuanya. Sehingga pada asal mulanya tidak berlaku terhadap kenakalan remaja
akan tetapi lebih fokus terhadap korban anak anak terlantar. Konsep ini
berkembang di as dilahirkan juvenial code tahun 1989 di Amerika. Landasan tersebut tidak
hanya mencakup anak yang diterlantarkan tadi yang hak asuhnya ada pada kepala
negara, tetapi juga mencakup kenakalan yang dilakukan oleh anak anak. Dan pada
waktu itu untuk anak anak sepanjang belum dewasa. Dengan adanya aturan tersebut melahirkan sistem peradilan anak di as dan
negara tertentu.
Di indonesia, tidak mengenal sistem peradilan anak, akan tetapi untuk tidak
menimbulkan stigma yang negatif terkait perlakuan anak, dilakukan perlakuan yang
berbeda antara orang dewasa dengan anak- anak. Walaupun di negara AS sudah terapkan sistem peradilan anak, ternyata
masih sisakan pertanyaan tentang efektivitas peradilan anak. Karena faktanya di institusi proses anak anak dihukum tetap saja stigma dihukum itu ada.
Sementara tamatan sistem peradilan anak banyak yang jadi jahat. Ini sisakan
persoalan, negara yang tidak adopsi sistem peradilan anak punya kelemahan.
Jadi sistem peradilan anak adalah sebuah struktur, fungsinya juga bisa
dilakukan oleh negara yang tidak adopsi. Jadi yang ditonjolkan adalah
fungsinya, jadi masih bisa diperbaiki.
BAGAIMANA APABILA ANAK LAKUKAN PIDANA YANG TIDAK SEMESTINYA DILAKUKAN?
Sistem paradilan pidana anak berlaku apabila perbuatan masih bisa
ditolerir. Dalam sistem indonesia menyatu, tidak dipisahkan. Antara anak anak
atau orang dewasa. Di indonesia masuk semua diproses oleh polisi, apakah ini
patut diproses untuk melalui pendekatan anak, ataukah dipidanakan secara hukum,
jadi tidak menutup kemungkinan anak pengguna narkoba dia masuk dalam kategori
korban, apabila masuk dalam kategori pengedar mungkin dia sudah bisa
menggunakan dan harus diproses. Jadi jawabannya, menyikapi mereka bukan berarti
semua perbuatan yang dilakukan anak harus diproses dengan perlakuan khusus,
tapi bisa saja masuk ke dalam mekanisme peradilan pidana, tapi bisa dapat
perlakuan khusus mungkin bisa dipisahkan dengan orang dewasa.
Kenakalan tidak hanya dilakukan oleh anak anak saja, tapi juga dilakukan
oleh orang dewasa. Misalkan anak minggat, atau bolos dari sekolah. Nakal itu
sebenarnya pada level itu, tapi kita coba klasifikasikan dalam tindak pidana.
Misalkan pembunuhan diklasifikasikan ke dalam kenakalan remaja yang seharusnya
itu pembunuhan. Polisi melihat itu sudah melihat bahwa ada orang yang menjadi
klasifikasi perbuatan jahat. Bahwa nanti hakim yang jatuhkan hukuman itu harus
diproses dulu. Tadi kembali lihat klasifikasi secara khusus tidak lalu berarti
hilangnya seluruh proses penanganan itu. Bisa saja proses jalan terus atau
contoh konkretnya harus pisah tahanan. Hakim pun tidak anut sistem peradilan
yang berbeda. Tapi perlakuan aparat penegak hukum harus sedemikian rupa
diwarnai uu perlindungan anak, jadi hak anak harus benar benar dijunjung harus
berdasarkan perbuatannya itu sendiri masuk klasifikasi orang dewasa. Kalau
hadapi hal serupa, tidak lalu berarti memperlakukan anak anak seperti lakukan orang
dewasa yang lakukan kejahatan.
saya hanya ingin menanggapi analisa yang mas lakukan, ini hanyalah tanggapan...
BalasHapussaya menyatakan berbeda pendapat mengenai kalimat "Sebenarnya dalam criminal justice system atau sistem peradilan pidana yang dianut oleh Indonesia tidak dibedakan antara peradilan anak dengan peradilan orang dewasa atau disebut peradilan umum, tetapi terdapat pertimbangan khusus akan adanya pemikiran juvenile justice yang mengharuskan adanya perlakuan khusus terhadap anak yang harus dipisahkan dari peradilan umum ". Saya menilai bahwa di Indonesia sendiri justru terlihat sekali perbedaan antara peradilan pidana orang dewasa dengan anak hal ini terbukti dengan adanya Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Undang-undang tersebut jelas membedakan anak yang bermasalah dengan hukum(semua perbuatan anak yang dapat dikenai pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan)mulai dari penangkapan, penyidikan, penuntutan, penjatuhan putusan oleh hakim sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. bahkan anak hanya dapat di penjara 1/2 dari maksimal hukuman penjara orang dewasa yaitu 10 tahun. Hal ini bukan tanpa alasan di dalam pertimbangan undang-undang tersebut disebutkan: a.bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan
maka jelaslah memang perlu adanya perbedaan perlakuan.
Tetapi UU No 11 th 2012 tersebut baru dapatdiberlakukan pada bulanjuli tahun 2014. Untuk saat ini yang masih diberlakukan adalah UU no 3 Th 1997.sedangkan dalam mekanisme penerapan UU No 3 Th 1997 saja masih banyak kekurangan, jadi menurut saya Indonesi memang sudah mulai menerapkan Restorative Justice dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum namun perlu digarisbawahi bahwa untuk mewujudkannya masih banyak perlu persiapan terutama dari segi finansial.
HapusApakah penulis adalah seorang Polisi...?
BalasHapusJika memang demikian, saya rasa wajar jika proses peradilan pidana di Indonesia belum sampai pada titik maksimal. Karena Kepolisian merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana.
Karena dalam sistem Hukum di Indonesia untuk anak telah ada sejak tahun 1997, dengan dikeluarkannya UU No.3 Tahun 1997. Dan pada akhir Juli kemarin telah disahkan pula UU Penggantinya, yakni UU No.11 Tahun 2012.