posting by Dimitri Mahendra
I. PENDAHULUAN
Peran Polri dalam penegakan hukum terkait masalah penyidikan tindak pidana dalam pemberantasan kasus- kasus kejahatan dalam rangka pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat sangat dipertaruhkan saat memutuskan dan menentukan apakah kasus yang terjadi termasuk dalam tindak pidana atau bukan. Dalam persoalan persoalan yang dihadapi Polri, tidak semua tindak pidana serta merta dapat dilakukan penyidikan oleh Polri, tindak pidana tertentu merupakan tindak pidana aduan, tanpa pihak yang menjadi korban dan atau yang merasa dirugikan mengadu ke Polri, penyidik tidak dapat melakukan proses penyidikan, mengapa? Karena menyangkut hak pribadi orang. Menghadapi situasi yang kritis tersebut, memang kita ketahui bahwa tugas Polri adalah menegakkan hukum. Tetapi apabila tindakan penegakan hukum yang akan diambil Polisi justru akan menciptakan situasi genting dan akan menciptakan kondisi konflik yang baru maka harus diketahui rasa keadilan juga harus ditegakkan karena tugas pokok Polisi sebagai pemelihara keamanan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu haruslah diambil langkah resolusi yang lebih bijaksana selama masih dalam konteks hukum yang sesuai dengan jalur hukum. Kita ambil contoh terkait kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh AAL(inisial) di Palu Sulawesi Tengah. Polisi mendapatkan laporan dan menaikkan kasus pencurian barang yang hanya seharga Rp 35.000 tersebut. Apakah yang akan terjadi? Apakah bilamana Polisi menaikkan kasus ke meja hijau yang terbilang sepele tersebut merupakan tindakan atau langkah yang tepat untuk dilakukan?
II. PEMBAHASAN
Untuk membahas kasus penyidikan yang dimaksudkan pada pendahuluan di atas, penulis mengutip pemberitaan tentang kasus pidana pencurian sandal jepit oleh AAL tersebut. Pemberitaan yang tercantum dikutip dari Kompas.com.
JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, menegaskan, kasus pidana pencurian sandal jepit bekas yang menyeret AAL (15) ke meja hijau terjadi karena pemilik sandal jepit bekas itu, Briptu Anwar Rusdi Harahap, menghendaki membawa kasus tersebut ke pengadilan. Pernyataan Kejaksaan Agung ini berbeda dengan pernyataan Mabes Polri yang menyebut kasus ini dimejahijaukan atas kehendak orangtua AAL. "Berdasarkan data dari Kejari setempat, korbanlah (polisi) yang menghendaki persoalan ini tetap dibawa ke pengadilan. Tindak pidana pencurian ini sebenarnya bukan tindak pidana berat. Saya bukan bilang (korban) berkeras, tapi memang menghendaki untuk dibawa ke pengadilan," ujar Noor dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (4/1/2012). Menurutnya, seharusnya ada upaya-upaya kekeluargaan agar kasus ini diselesaikan secara damai. Namun, kata dia, kejaksaan tidak berada pada posisi untuk melakukan hal itu. Proses perdamaian seyogianya dilakukan pihak-pihak yang bertikai. Kejaksaan, kata dia, tidak bisa menghentikan kasus itu karena belum ada landasan hukum yang mengaturnya. Jika korban menghendaki untuk dibawa ke pengadilan, maka kejaksaan hanya mengikuti alur hukum yang berjalan. "Memang ada upaya-upaya bahwa untuk masalah yang kecil itu sifatnya tidak perlu dibawa ke pengadilan, mungkin ada kesepakatan antara korban dan pelaku. Persoalannya, kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan melanggar hukum. Untuk koordinasi dengan penyidik, lalu kompromi itu belum ada landasan hukumnya," jelasnya. Sebelumnya diberitakan, polisi menyatakan bahwa orangtua AAL pada 28 Mei 2011 mendatangi Briptu Rusdi dan meminta agar anak mereka dibawa ke proses hukum sebagai pelaku pencurian sandal jepit bekas itu. Selain itu, disebutkan polisi telah berupaya agar kasus ini diselesaikan secara damai, tetapi orangtua dan pengacara bersikeras melanjutkan kasus itu ke ranah hukum.
Menanggapi kasus yang dikutip dari kompas.com diatas, dapat kita menganalogikan kasus tersebut dengan sebuah peribahasa yang dimiliki oleh fungsi tekhnis kepolisian reserse yang mengatakan bahwa walau besok langit runtuh dan hukum harus ditegakkan karena kiamat, janganlah tegakkan hukum apabila upaya penegakan hukum itu membuat situasi menjadi lebih tidak tertib. Dari peribahasa tersebut bilamana kita kaitkan dengan penggunaan asas legalitas memang tidak dipersoalkan karena pidana berlaku selama ada aturan yang mengatur. Tetapi konteks yang terdapat dalam substansi kasus hukum tersebut adalah tugas polisi sebagai bukan hanya penegakan hukum, melainkan memelihara kamtibmas yang bilamana dibandingkan dalam persentase, persentase lihkamtibmas lebih besar dari gakkum karena sebenarnya kasus tersebut dapat diselesasikan oleh polisi menggunakan solusi resolutive justice yang memiliki ekuivalensi dengan penyelesaian perkara diluar sidang pengadilan. Memang jika kita ketahui apabila kita memadukan antara kepastian hukum dengan keadilan adalah dua hal yang sangat bertolak belakang dan tidak akan mungkin untuk dipersatukan. Oleh karena itu, adanya diskresi yang dimiliki kepolisian, polisi dituntut untuk mampu menentukan kapan suatu perkara dapat dilimpahkan ke dalam suatu jalur penyelesaian yang disebut jalur atau ranah hukum.
Melihat kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh AAL selaku pelaku pencurian sandal jepit yang memiliki usia yang tergolong anak di bawah umur tersebut, Polri sebagai penegak hukum pengemban fungsi kepolisian tidak dapat hanya melihat melalui satu kacamata sudutpandang penegakan hukum saja. Melainkan Polri haruslah bijaksana melihat tidak hanya pada saat kasus itu terjadi, melainkan haruslah pula melihat kondisi antopologis yang menyebabkan pencurian itu terjadi.
Jika kita melihat dari sudut pandang keadilan, vonis bersalah terhadap AAL (15), pencuri sandal jepit anggota Brimob tersebut adalah ironi bagi impunitas para koruptor yang kakap. Seperti kata Thrasymmachus, “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”. Ironi yang terjadi dalam realita bangsa Indonesia dewasa ini sungguhlah kritis. Maling ayam yang tidak memiliki latar belakang kekuasaan maupun kekuatan politik dapat saja dengan mudah dijebloskan ke dalam buih hingga waktu yang cukup lama, sementara para koruptor perlu proses yang berbelit belit untuk menindak pidanakan mereka. Jangan jangan yang menjamin kepastian hukum adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan sehingga mereka dengan mudahnya memperoleh barrier perlindungan dan menjadikan hukum sebagai suatu kedok atau payung perlindungan. Hal ini yang menyebabkan negara ini semakin terpuruk dengan lemahnya penegakan hukum. Sebenarnya siapakah yang salah? Aturan yang tidak objektif ataukah dalam pelaksanaan penegakan hukum yang terlalu mendisfungsikan hukum progresif yang menjadi tameng untuk melakukan tindakan 86 (pemerasan bahasa Polisi). Benar kata Hobbes bahwa harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum :”perjanjian tanpa pedang hanyalah kata kata kosong).
Jika melihat dari sudut pandang penegakan hukum, maka AAL dapat dikategorikan melakukan tindak pidana 362 KUHP pencurian. Mengapa hal ini dikatakan demikian? Adalah bukan salah untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk melakukan tindak pidana karena diketahui bahwa kejahatan adalah n ditambah k yaitu niat ditambah kesempatan yang dimiliki. melihat faktor tersebut, maka juga memenuhi locus dan tempus delicti nya. karena suatu pidana sudah pasti memiliki tempat dan waktu terjadinya pidana.
Perlu diketahui, dengan adanya diskresi maka dapat disinkronkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu teori hukum progresif yang berarti hukum itu berlaku bagi setiap warga negara selama sudah diundangkan. Tetapi penegakan hukum oleh polisi dapat dilakukan melihat situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat dikarenakan bilamana langkah penyelesaian menuju jalur hukum itu bertentangan dan merusak tatanan lingkungan masyarakat, maka konduite yang harus diambil adalah suatu kesepakatan antara dua belah pihak yang bertemu selama kasus tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini juga merupakan suatu langkah crime prevention yang menjadi tugs pokok polisi untuk menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang aman, tentram, dan bebas dari rasa gangguan terhadap kriminalitas yang dewasa ini semakin tinggi.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Tidak semua tindak pidana serta merta dapat dilakukan penyidikan oleh Polri, tindak pidana tertentu merupakan tindak pidana aduan, tanpa pihak yang menjadi korban dan atau yang merasa dirugikan mengadu ke Polri, penyidik tidak dapat melakukan proses penyidikan, mengapa? Karena menyangkut hak pribadi orang. suatu peribahasa reserse kriminal yang mengatakan walau besok langit runtuh dan hukum harus ditegakkan karena dekatnya kiamat, janganlah tegakkan hukum apabila upaya penegakan hukum itu membuat situasi menjadi lebih tidak tertib. Dari peribahasa tersebut bilamana kita kaitkan dengan penggunaan asas legalitas memang tidak dipersoalkan karena pidana berlaku selama ada aturan yang mengatur. Tetapi konteks yang terdapat dalam substansi kasus hukum tersebut adalah tugas polisi sebagai bukan hanya penegakan hukum, melainkan pelihara kamtibmas yang bilamana dibandingkan dalam persentase, persentase lihkamtibmas lebih besar dari gakkum karena sebenarnya kasus tersebut dapat diselesasikan oleh polisi menggunakan solusi resolutive justice yang memiliki ekuivalensi dengan penyelesaian perkara diluar sidang pengadilan. Memang jika kita ketahui apabila kita memadukan antara kepastian hukum dengan keadilan adalah dua hal yang sangat bertolak belakang dan tidak akan mungkin untuk dipersatukan. Oleh karena adanya diskresi yang dimiliki kepolisian, polisi dituntut untuk mampu menentukan kapan suatu perkara dapat dilimpahkan ke dalam suatu jalur penyelesaian yang disebut jalur atau ranah hukum atau tidak karena hal ini juga merupakan suatu langkah crime prevention yang menjadi tugs pokok polisi untuk menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang aman, tentram, dan bebas dari rasa gangguan terhadap kriminalitas yang dewasa ini semakin tinggi.
Saran
Dengan kewenangan yang dimiliki Polri yang disebut dengan diskresi kepolisian. Penegakan hukum yang bersifat preventif atau disebut alternate dispute resolution lebih baik dilakukan dalam suatu penyelesaian perkara pidana tanpa menaikkan kasus ke dalam ranah hukum selama itu tidak merusak situasi dan kondisi masyarakat. Apabila kita melihat kasus AAL ini, maka kualitas personel dalam penanganan penerimaan laporan polisi harus dilakukan oleh seorang perwira. Bukan bintara, dikarenakan bahwa kredibilitas laporan polisi adalah penentuan apakah kasus yang terjadi masuknya ke ranah pidana atau perdata, dan apakah termasuk pidana atau bukan. Dengan adanya konduite yang lebih tinggi jenjang kepangkatan dan ilmu hukum yang dikuasai. Kesalahan prosedural lebih akan berkurang jumlahnya untuk mencapai tujuan profesi kepolisian yang bersih, jujur, adil, transparan, humanis, adil, disiplin, terpuji, dan patuh hukum.
whatever you do, do the best. :)
BalasHapus