posting by : Dimitri Mahendra
I. PENDAHULUAN
Tanggung jawab dalam suatu kinerja dengan penuh dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas dengan profesionalisme, kejujuran, kedisiplinan, kepatuhan terhadap hukum, dengan mengedepankan analisis akademis dan praktis tanpa mengejar pengakuan atau pemaksaan kehendak terhadap masyarakat mutlak dimiliki oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang luhur sebagai seorang abdi masyarakat bagi bangsa Indonesia sebagai seorang pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat, penegak hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban nasional.
Kredibilitas kinerja yang optimal yang harus dimiliki oleh anggota Polri terutama bagi para perwira Polri yang bersumber dari Akademi Kepolisian sebagai lembaga pendidikan pencetak kader kader pimpinan Polri juga pendidikan pembentukan perwira Polri selain Akpol haruslah memiliki kualitas personel yang mumpuni dan memiliki kualifikasi yang diharapkan. Dalam kenyataannya di lapangan, tidak semua lulusan dari sekolah pimpinan Polri tersebut melahirkan kader kader yang prima dikarenakan minimnya skill dan pengetahuan masalah kepolisian, hukum dan segala substansi permasalahan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal tersebut, tuntutan pendidikan yang lebih tinggi dibutuhkan oleh para perwira pertama lulusan Akademi Kepolisian tersebut untuk mencapai kualifikasi kinerja yang lebih baik dan optimal sebagai aparat penegak hukum yang profesional, mahir, terpuji, dan patuh hukum.
Untuk meningkatkan kredibilitas dan kemampuan kinerja perwira pertama lulusan Akademi Kepolisian tersebut maka dibentuklah sekolah lanjutan kepolisian atau yang disebut pendidikan pengembangan secara berjenjang menurut kepangkatan maupun tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para perwira Polri lulusan Akpol maupun perwira Polri lulusan selain Akpol. Dalam kenyataannya di lapangan, untuk dapat mengikuti pendidikan lanjutan tersebut, masih banyak ditemukan tradisi pungutan liar (pungli) terhadap para perwira yang akan mengikuti seleksi masuk sekolah lanjutan tersebut. Hal ini mendarah daging dan menjadi traditional culture dan mengubah mindset para perwira Polri untuk melakukan pemerasan terhadap masyarakat, menjadi mafia hukum atau makelar kasus dan masih banyak oknum guna mengumpulkan dana dan finansial untuk dapat lolos seleksi dalam mengikuti sekolah lanjutan perwira kepolisian tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan kompleks yang terjadi dalam tubuh internal Polri, maka Kalemdikpol menyusun program grand strategy lemdikpol 2011- 2025 yang selaras dengan grand strategy Polri, revitalisasi Polri maupun birokrasi Polri serta kebijakan pemerintah di bidang pendidikan (sisdiknas).
II. PEMBAHASAN
Kebijakan Polri yang tercantum dalam grand strategy Polri periode 2005-2025 memiliki 3 unsur utama yaitu trust building, partnership building, dan strive for excellence. Dalam menyelaraskan hal tersebut, Lemdikpol memiliki 3 agenda penting untuk merealisasikan birokrasi dan reformasi Polri menuju kinerja terbaik tersebut yakni Grand Strategy Lemdikpol tahun 2011-2025 yaitu bahwa setiap anggota Polri baik perwira maupun bintara dalam mengikuti seleksi ataupun mengikuti pendidikan kepolisian baik pendidikan profesi, pendidikan akademik maupun pendidikan vokasi tidak dikenakan biaya apapun atau tidak adanya lagi pungutan liar (pungli) atau calo dalam menentukan kelulusan penerimaan seleksi peserta pendidikan. Agenda penting yang kedua bahwa Lemdikpol memiliki strategi berkala yang terdiri dari tiga tahapan penting meliputi penguatan institusi Lemdikpol yang ditujukan kepada sasaran bahwa setiap lembaga pendidikan Polri baik itu pendidikan profesi, pendidikan akademis, maupun pendidikan vokasi berada di bawah Lemdikpol sehingga menjadikan sinergitas pendidikan pada tubuh Polri mengacu pada jenjang kepangkatan. Sasaran kedua bahwa pendidikan Polri wajib berbasis Informasi teknologi (IT). Sasaran ketiga adalah Polri sebagai pusat keunggulan pendidikan dan profesionalisme pelatihan Polri.
Untuk mewujudkan Grand Strategy Polri tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia yang kompeten dan sistem pendidikan kepolisian sudah terintegrasi dan transparan yang mengharuskan untuk perubahan mind set dan culture set yang lama yang mengharuskan bayar pungli untuk sebuah kursi di PTIK dan sebagainya harus dihilangkan sejak dini. Oleh karenanya kini dalam PTIK angkatan ke 60 yang akan dilaksanakan pertengahan tahun ini PTIK akan berbasis IT dan melakukan Teleconference schooling. Atau dengan kata lain, para perwira siswa dapat melakukan kuliah PTIK jarak jauh tanpa harus melepaskan jabatan yang dimiliki oleh para perwira siswa. Selain memunculkan wacana tersebut, PTIK kini telah bergabung dengan Akademi Kepolisian sebagai program baru yang baru dilaksanakan oleh detasemen 44 yang kini berstatus taruna mahasiswa STIK.
Kebijakan yang dijalani oleh detasemen 44 ini bukanlah merupakan kebijakan baru, melainkan kebijakan lama yang dimunculkan kembali karena penerapan seperti ini pernah dilakukan oleh angkatan 1983 deviacita yang memiliki peringkat 30 besar. Selain itu, kompetensi dan sertifikasi para lulusan STIK akan diberikan untuk menunjang kinerja dan memiliki credit poin yang harus ditempuh untuk bisa memasuki suatu jenjang kepangkatan kepolisian secara transparan. Sebagai contoh, seorang perwira pertama berpangkat Ipda lulusan STIK detasemen 44 harus memiliki kompetensi yang tercantum dalam sertifikasi untuk membuat LP karena di dalam LP seorang anggota Polri menentukan kasus tersebut apakah termasuk dalam kasus pidana ataupun perdata, analisa pidana dan perdata, dan mampu berkomunikasi secara efektif. Dalam pelaksanaannya, penerimaan Laporan Polisi diterimakan oleh bintara, yang sebagaimana idealnya, penerimaan Laporan Polisi ini haruslah diterimakan oleh seorang perwira. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, kualitas yang profesional sangat diharapkan bagi para perwira Polri untuk tantangan tugas yang semakin kompleks ke depannya tersebut. Oleh karena itu, untuk memecahkan resolusi tersebut, pimpinan Polri mencoba mengambil kebijakan untuk lulusan Akpol langsung memiliki gelar strata satu ilmu kepolisian yang mulai dari angkatan 44. Dengan harapan, satu orang perwira lulusan Akpol detasemen 44 memiliki kualifikasi yang sama dengan kinerja dua orang perwira Polri sehingga efektivitas dan efisiensi Polri dalam pelaksanaan tugas akan semakin optimal.
III. REKOMENDASI
Dalam menghadapi situasi yang semakin kompleks dalam tubuh internal Polri tersebut, detasemen 44 merupakan angkatan pertama taruna mahasiswa STIK-AKPOL yang diharapkan mampu untuk mengubah culture set dan mindset negatif yang mendarah daging di dalam tubuh internal Polri. Tapi alangkah sayangnya apabila program STIK yang sudah baik sedemikian rupa dirusak apabila saat pelaksanaan tugas bertemu lagi dengan situasi yang politikal atau relasional state dalam pencarian jabatan Polri. Oleh karena itu, pembenahan internal SDM Polri tidak hanya dari lemdik pembentukan atau pengembangan saja, melainkan juga dari kemudahan dalam mengikuti sekolah lanjutan, kemudian objektivitas dalam penempatan personel yang sesuai dengan ranking yang sepadan untuk memacu kompetisi yang sehat bukan saling menjatuhkan, dan transparansi penegakan hukum bagi pelanggaran yang dilakukan oleh aparat Polri sehingga timbul efek jera dan rasa takut untuk melanggar aturan atau tidak lagi melakukan pungutan liar atau pungli baik itu terhadap masyarakat sipil maupun bagi sesama anggota Polri.
Harapannya ke depan pula, remunerasi dan pemberian tunjangan jabatan yang cukup benar benar terealisasi dikarenakan dengan kekuasaan yang besar tanpa diimbangi pendapatan yang cukup akan menimbulkan hasrat untuk melakukan pelanggaran atau korupsi. Karena diketahui kejahatan itu timbul karena adanya niat dan kesempatan. Apabila semua komponen sudah kapabel, maka sudah tidak akan diragukan lagi Polri dapat menjadi insititusi penegak hukum yang bersih transparan, patuh hukum, profesional, jujur, modern dan adil bagi rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar