Disampaikan pada FGD Penegakan Hukum Di Indonesia tanggal 12 Oktober 2011
Prof J.E Sahetapy dalam catatannya pada newsletter Komisi Hukum Nasional (April 2010) menyatakan bahwa "adil dan ketidakadilan dari hukum, juga kuasa, tetapi juga ketidakberkuasanya hukum", merujuk pada pendapat Prof Algra (1979) yang mengatakan "...recht en onrecht van dat recht, almsede macht, maar ook onmacht van dat recht." Berdasarkan hal tersebut, Prof. Sahetapy mengingatkan kembali bahwa keadilan hukum dapat berarti sebuah ketidakadilan dan kelemahan dalam pandangan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, realita dalam penegakan hukum seringkali mengabaikan rasa keadilan masyarakat mengingat secara tekstual (substansi hukum) lebih mensyaratkan pada adanya kepastian hukum.
Selain itu, betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan aturan hukum selama ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof J E Sahetapy yang menegaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, yaitu faktor aparat penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat akan kesigapan, kejujuran, dan profesionalisme para penegak hukum. Bahkan juga semakin gencar dan tajam suara- suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah, Masyarakat melihat dengan pesimis kondisi penegakan hukum, sehingga Prof Baharuddin Lopa pernah mengungkapkan "di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan". Hingga kini masih banyak suara- suara pesimistik tentang eksisnya suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang merupakan sistem hukum di negara kita.
Berkenaan dengan itu, dalam sistem hukum di Indonesia, struktur adalah institusi dan kelembagaan hukum yang terdiri dari Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, hakim, Lembaga permasyarakatan dan pengacara yang salin terjalin dan saling ketergantungan dalam proses pelaksanaan dan penegakan hukum. Oleh karena itu, struktur hukum akan berjalan dan mencapai hasil yang optimal sangat bergantung pada pelaksanaanya yaitu aparatur hukum dimaksud.
Polri sebagai subsistem terdepan dari sistem hukum ini sudah barang tentu tidak henti hentinya mendapat sorotan, kritikan, dan hujatan manakala dalam melaksanakan tugas dinilai oleh masyarakat tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya sehingga dituntut adanya perubahan budaya hukum yang mengedepankan tindakan preemtif dan preventif dari pada tindakan represif.
Dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, Polri melakukan reformasi dan optimalisasi denga program reformasi birokrasi polri (RBP) Gelombang 1 mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 yang lalu, dan tahun pertama dari reformasi birokrasi gelombang kedua pada tahun 2010. Tim independen reformasi birokrasi nasional telah melakukan penilaian terhadap pelaksanaan RBP pada bulan Mei Tahun 2010, terhadap 4 (empat) unsur pokok area perubahan, yaitu: quick wins, kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Hasil rangkuman penilaian dari tim independen ini menunjukkan bahwa secara rata- rata nilai Polri adalah baik, yaitu sebesar 3.63, dengan kesimpulan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah siap untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Namun harus secara jujur diakui bahwa masih ditemukan berbagai masalah dan kendala yang sering dialami Polri berkaitan dengan adanya keluhan- keluhan masyarakat mengenai kinerja Polri.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dipandang perlu untuk menyusun langkah strategis dalam rangka meningkatkan peran Polri dalam penegakan hukum di Indonesia, selaras dengan permintaan panitia penyelenggara Focus Group Discussion (FGD), maka ditentukan pokok permasalahan: "Bagaimanakah Reformasi dan Optimalisasi Penegakan Hukum di Kepolisian Negara Republik Indonesia?"