Selasa, 06 November 2012

ANALISA UNDANG UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)



posting by Dimitri Mahendra

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Permasalahan
Seiring dengan berkembangnya perekonomian global dunia, pelaku usaha berlomba- lomba bersaing untuk memperoleh keuntungan. Salah satu upaya konkret yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan tersebut adalah melalui transaksi bisnis elektronik di dunia maya atau disebut e-commerce.
            Menurut Kalakota dan Whinston (1997) mendefinisikan EC dari berbagai perspektif antara lain:
Dari perpektif komunikasi, EC merupakan pengiriman informasi produk/ layanan, atau pembayaran melalui lini telepon, jaringan computer atau sarana elektronik lainnya.
Dari perpektif proses bisnis, EC merupakan aplikasi teknologi menuju otomatisasi transaksi dan aliran kerja perusahaan
Dari perpektif layanan, EC merupakan suatu alat yang memenuhi keinginan perusahaan, konsumen, dan manajemen dalam memangkas service cost ketika meningkatkan mutu barang dan kecepatan pelayanan.
Dari perspektif online, EC kapasitas jual beli produk dan informasi di Internet dan jasa online lainnya.
            Dalam penerapannya, transaksi jual beli melalui e-commerce banyak dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar barang/ jasa dan konsumen sebagai pengguna layanan barang atau jasa memiliki beberapa alasan manfaat dalam penggunaan e-commerce antara lain:
1.    Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)
2.    Menurunkan biaya operasional (operating cost).
3.    Melebarkan jangkauan (global reach)
4.    Meningkatkan costumer loyalty
5.    Meningkatkan supply management
6.    Memperpendek waktu produksi[1]
Dengan alasan- alasan praktis tersebut, e-commerce dianggap mampu memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau melakukan transaksi selama 24 jam sehari dari tempat, jarak, dan waktu yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai pada sector ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk ke sector ilmu pengetahuan dan pendidikan, politik, social, budaya, hukum, pertahanan, dan keamanan.
E-commerce memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu keluar rumah untuk berbelanja. Disamping itu pilihan barang/ jasapun beragam dengan harga yang relative lebih murah. Hal ini menjadi tantangan positif dan sekaligus negative. Dikatakan positif karena kondisi tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/ jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang/ jasa sesuai dengan kebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah daripada posisi pelaku usaha.[2]
Dengan mudahnya transaksi jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen, maka diperlukan perjanjian antara pihak pelaku usaha dengan konsumen. Dimana dalam pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hal ini ditegaskan dengan pengertian perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah hukum atau hak kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum dan bila kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.[3]
Permasalahan yang terjadi dalam transaksi jual beli e-commerce banyak ditunjukkan dengan pelaku usaha yang tidak memberikan kewajibannya kepada konsumen dalam bertransaksi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata, tahap ini adalah ditunjukkan dengan adanya wanprestasi yaitu tidak dapat dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua kemungkinan sebagai berikut :[4]